BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Tidak setiap anak atau remaja beruntung dalam
menjalani hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus
berpisah dari keluarganya karena sesuatu alasan, seperti menjadi yatim, piatu
atau bahkan yatim piatu, tidak memiliki sanak keluarga yang mau atau mampu
mengasuh, sehingga terlantar. Sebagian anak-anak tersebut pengasuhannya
dipercayakan kepada panti asuhan yang ada. Hal ini mengakibatkan kebutuhan
psikologis anak menjadi kurang dapat terpenuhi dengan baik, terutama jika tidak
ada orang yang dapat dijadikan panutan atau untuk diajak berbagi dan bertukar
pikiran dalam menyelesaikan masalah.
Margareth
(dalam Hurlock, 1995) dalam laporan hasil penelitiannya juga menyimpulkan bahwa
perawatan anak di yayasan sangat tidak baik, karena anak dipandang sebagai
makhluk biologis bukan sebagai makhluk psikologis dan makhluk sosial. Padahal
selain pemenuhan kebutuhan fisiologis, anak membutuhkan kasih sayang bagi
perkembangan psikis yang sehat seperti halnya vitamin dan
protein bagi perkembangan biologisnya.
Mulyati (1997) mengatakan bahwa panti asuhan berperan
sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses
perkembangannya, namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa remaja yang
tinggal di panti asuhan lebih rentan mengalami gangguan psikologis.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2001) menunjukkan bahwa anak
yang tinggal di panti asuhan mengalami banyak problem psikologis dengan
karakter sebagai berikut kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik
diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan, anak panti asuhan lebih kaku dalam berhubungan sosial dengan orang
lain, perkembangan kepribadian dan penyesuaian sosialnya kurang memuaskan.
Hal-hal tersebut menunjukkan tidak terpenuhinya kebutuhan anak panti asuhan
secara psikologis maupun sosial seperti layaknya anak-anak lain yang memiliki
keluarga.
Data angket pra penelitian yang dilakukan pada bulan Juni 2013 di panti
asuhan Daarul Hadlonah Kendal didapatkan hasil bahwa dari 25 kuesioner yang disampaikan
untuk mengungkap masalah-masalah yang
sering dirasakan dan kembali sejumlah 19 kuesioner didapatkan hasil bahwa
mayoritas kondisi emosi negatif cukup tinggi. Emosi negatif seperti sedih (sadness) 100% dirasakan oleh remaja panti
asuhan yatim piatu Daarul Hadlonah Kendal dan emosi-emosi negatif lainnya
seperti marah (anger) 57,89%, jengkel
(jealousy) 84,21% dan emosi positif
seperti senang (happy) 36,84%,
menerima 10,53% dan harapan positif 5,26% serta hal lain yang terungkap fisik
lemah sebesar 26,32%, rasa kurang percaya diri 21,05% dan sulit belajar 5,26%. Hal
ini menunjukkan bahwa remaja panti asuhan cenderung lebih banyak merasakan
emosi negatif dan hal ini menunjukkan bahwa
kesejahteraan psikologis atau kebahagiaan anak-anak di panti asuhan
tersebut cenderung rendah, yang menurut Diener (2000) kesejahteraan subjektif atau kebahagiaan ditentukan oleh bagaimana cara individu
mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami.
Berdasarkan kenyataan di panti asuhan tersebut peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian intervensi untuk meningkatkan kebahagiaan anak-anak panti
asuhan, sehingga hasilnya akan mampu membantu anak-anak menjadi bahagia dan
sejahtera.
Dari data-data yang diperoleh tersebut dapat digambarkan bahwa kehidupan
anak-anak yatim piatu di panti asuhan sebagian besar mengalami kondisi emosi
yang negatif atau kurang adanya kebahagiaan. Kondisi tersebut menjadi hambatan
anak-anak maupun remaja dalam menjalani
hidupnya untuk merasakan kehidupan seperti anak-anak lain yang diasuh di
dalam rumah tangga yang lengkap dengan sosok kedua orang tua.
Rasa sedih merupakan sebagian emosi yang sangat
menonjol dalam masa remaja awal. Remaja sangat peka terhadap ejekan-ejekan yang
dilontarkan kepada diri mereka, terutama yang datang dari teman-teman sebayanya.
Sebaliknya perasaan gembira biasanya akan nampak jika remaja dapat pujian
terhadap dirinya atau hasil usahanya (Mappiare, 2003).
Keluarga merupakan salah satu sumber kebahagiaan (Primasari dkk., 2012). Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa ada tiga
unsur sumber kebahagiaan
remaja, yaitu: (1) hubungan dengan orang lain (50,1%) yang terdiri dari peristiwa dalam keluarga, hubungan dengan
teman-teman, dan kegiatan
yang terkait dengan cinta dan dicintai, (2) Cukup
pemenuhan (32,67%) terdiri
dari kegiatan yang terkait dengan prestasi, penggunaan waktu luang, dan uang, (3) Hubungan dengan Allah (9,63%) terdiri dari peristiwa
spiritual yang melibatkan hubungan antara remaja dan Tuhan. Studi ini memberikan wawasan
bahwa ikatan keluarga tetap penting. Sumber kebahagiaan
remaja tidak hanya keterlibatan dalam kelompok sebaya,
tetapi keluarga merupakan sumber utama kebahagiaan
bagi remaja. Hubungan sosial mempunyai
peran terhadap kebahagiaan remaja tetapi hanya sedikit.
Campos dan Saarndikk (dalam
Santrock, 2007) mengemukakan bahwa emosi adalah sebagai perasaan atau afeksi yang
timbul karena seseorang sedang berada dalam suatu keadaan atau suatu interaksi yang
dianggap penting olehnya, terutama well-being
dirinya. Emosi
diwakili oleh perilaku yang mengekspresikan kenyamanan atau ketidaknyamanan
terhadap keadaan atau interaksi yang sedang dialami emosi. Emosi juga bisa
berbentuk sesuatu yang spesifik seperti rasa senang, takut, marah, dan
seterusnya, tergantung dari interaksi yang dialami.
Emosi
diklasifikasikan menjadi emosi yang
positif dan emosi yang negatif, yang tergolong sebagai emosi positif adalah
antusiasme, rasa senang dan cinta dan
yang tergolong emosi negatif adalah cemas,
marah, rasa bersalah dan sedih (Santrock, 2007).
Emosi
dipengaruhi oleh dasar biologis dan juga pengalaman masa lalu. Emosi yang memainkan peran penting dalam
hubungan sebaya bukan hanya kognisi, melainkan juga emosi. Sebagai contoh,
kemampuan untuk mengatur emosi terkait dengan hubungan teman sebaya yang sukses (Orobio dkk dalam Santrock, 2007).
Individu
dengan mood yang berubah-ubah dan
negatif secara emosional mengalami penolakan yang lebih banyak dari teman
sebaya, sementara individu yang positif secara emosional lebih populer (Saarni dalam Santrock, 2007). Anak-anak yang memiliki kemampuan
mengatur diri yang efektif dapat meredam ekspresi emosional mereka dalam
konteks yang memunculkan emosi yang intens, seperti ketika teman sebaya mengatakan sesuatu yang negatif (Orobio de
Castro dkk., dalam
Santrock, 2007). Dalam satu
studi, anak-anak yang ditolak lebih cenderung menggunakan bahasa tubuh negatif
dalam situasi yang menghasut dibanding anak-anak yang populer (Underwood & Hurley, dalam Santrock, 2007).
Menurut Eisenberg (dalam Santrock, 2007) bahwa ada trend yang berhubungan dengan pengaturan emosi yaitu strategi
kognitif. Strategi kognitif untuk
pengaturan emosi, “seperti berpikir positif tentang situasi, penghindaran
kognitif (cognitive avoidance), dan
pengalihan atau pemfokusan atensi, yang berkembang seiring dengan pertambahan
usia”.
Strategi emosi (Gross, 1999) adalah cara individu dalam
mengelola emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana
mereka mengalami atau mengekspresikan emosi tersebut. Regulasi emosi juga dapat
diartikan sebagai kemampuan untuk mengevaluasi dan mengubah reaksi-reaksi
emosional untuk bertingkah laku tertentu yang sesuai dengan situasi yang
terjadi (Thompson dalam Garnefski, dkk, 2001).
Emosi memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia
serta dalam pengembangan kepribadian. Seseorang dengan kemampuan pengendalian
emosi akan berdampak dalam meningkatkan kreativitas pemecahan masalah dan
meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan (Bonanno & Mayne, 2001).
Beberapa penelitian
tentang kebahagiaan dapat ditingkatkan dengan berbagai pelatihan antara lain
penelitian dari Zuhdiyati
(2001) menunjukkan bahwa pelatihan pemaafan dapat
meningkatkan kebahagiaan (subjective
well-being)
pada remaja yang orangtuanya bercerai. Kusumawardhani ( 2012) dalam penelitian yang dilakukan bahwa Acceptance Commitment Therapy dianggap efektif dalam meningkatkan kebahagiaan (subjective well-being)
pada dewasa
muda pasca putusnya hubungan pacaran.
Beberapa penelitian tentang pengaruh pelatihan regulasi emosi
yang mempunyai dampak yang positif antara lain Nugraheni (2011) bahwa
pengendalian emosi memiliki pengaruh yang signifikan terhadap penurunan
kecenderungan agresi pada tunalaras dan Syahadat (2013) mengungkapkan bahwa
pelatihan regulasi emosi dapat menurunkan perilaku agresif pada anak sekolah
yang sesuai dengan kriteria subjek.
Penelitian lain yang relevan dengan regulasi emosi adalah
pelatihan keterampilan regulasi emosi memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap penurunan perilaku prokastinasi akademik pada mahasiswa tingkat akhir
yang sedang mengerjakan dan menyelesaikan skripsi (Musslifah, 2013).
Hasil penelitian Salamah (2010) bahwa remaja memiliki
cara-cara khusus dalam mengelola emosi-emosi yang timbul akibat memiliki
saudara kandung yang autis.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli dan
peneliti di atas maka program untuk membantu mengatasi permasalahan yang
dialami para anak atau remaja yatim piatu adalah dengan upaya mengendalikan
atau meregulasi emosi-emosi negatif yang cukup mendominasi mereka. Harapan yang
akan dicapai adalah agar mereka mampu merasakan kebahagiaan selayaknya anak
atau remaja yang hidup dengan kedua orangtuanya, meskipun mereka menjalani
hidupnya di panti asuhan.
Rumusan
masalah yang diajukan peneliti adalah, “Adakah pengaruh pelatihan regulasi
emosi terhadap peningkatan kebahagiaan remaja panti asuhan yatim piatu?”.
B.
Tujuan Penelitian
Tujuan yang
akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan regulasi emosi terhadap peningkatan
kebahagiaan remaja panti asuhan yatim piatu.
C.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1.
Secara teoritis,
hasil penelitian akan menjadi informasi yang dapat memperkaya hasanah ilmu
pengetahuan, terutama dalam pengembangan pelatihan-pelatihan dalam praktek
profesi psikologi dan khususnya dalam bidang klinis mengenai pengaruh pelatihan
regulasi emosi bagi remaja yatim piatu yang mengalami ketidakbahagian atau
emosi-emosi negatif.
2.
Secara praktis
a. Bagi pihak Lembaga Panti Asuhan Yatim Piatu bahwa hasil
penelitian ini memberikan hasil empiris bagaimana pengaruh pelatihan regulasi
emosi terhadap peningkatan kebahagiaan remaja di Panti Asuhan Yatim Piatu
sehingga dapat dijadikan sebagai model yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kebahagiaan bagi anak atau remaja-remaja lain
yang akan tinggal di Panti Asuhan Yatim Piatu Daarul Hadlonah YKMNU
Kendal.
b. Bagi peneliti selanjutnya, hasil kajian penelitian ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.
D.
Keaslian Penelitian
Beberapa
penelitian sebelumnya yang diketahui peneliti sebagai berikut :
1.
Nugraheni, W.R.
(2011) melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan pengendalian emosi
terhadap kecenderungan agresi pada tunalaras hasilnya adalah bahwa pelatihan
pengendalian emosi memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap penurunan kecenderungan
agresi pada tunalaras.
2.
Musslifah, A.R.
(2013) melakukan penelitian tentang pengaruh pelatihan karem pada mahasiswa dengan kecenderungan prokrastinasi akademik
hasilnya bahwa pelatihan karem memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap penurunan perilaku prokastinasi akademik pada
mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan dan menyelesaikan skripsi.
3.
Syahadat, Y.M.
(2013) melakukan penelitian pelatihan regulasi emosi untuk menurunkan perilaku
agresif pada anak hasilnya bahwa pelatihan regulasi emosi dapat menurunkan
perilaku agresif pada anak sekolah yang sesuai dengan kriteria subjek.
4.
Salamah, A. (2010),
meneliti tentang gambaran emosi dan regulasi emosi para remaja yang memiliki
saudara kandung penyandang autis dan hasilnya adalah remaja memiliki cara-cara
khusus dalam mengelola emosi-emosi yang timbul akibat memiliki saudara yang
menyandang autis.
5.
Hasil penelitian Zuhdiyati (2011) meneliti tentang kebahagiaan
diintervensi dengan pelatihan pemaafan dan hasilnya menunjukkan
bahwa pelatihan pemaafan
dapat meningkatkan subjective well-being pada remaja yang orangtuanya bercerai.
6.
Kusumawardhani (2012) meneliti tentang efektifitas acceptance commitment therapy dalam
meningkatkan subjective well-being pada dewasa muda pasca putusnya hubungan pacaran, dan hasilnya menunjukkan bahwa
acceptance commitment
therapy dianggap efektif dalam
meningkatkan kebahagiaan (subjektive
well-being).
Berdasarkan penelusuran yang
penulis lakukan, belum ada penelitian yang secara fokus meneliti tentang “pengaruh pelatihan regulasi
emosi terhadap kebahagiaan remaja panti asuhan yatim piatu”. Penelitian ini memiliki deferensiasi pada penelitian sebelumnya,
baik pada partisipan, metode intervensi, dan lokasi penelitian.